A. Pendahuluan
Didalam Islam, antara dunia dan akhirat
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kehidupan dunia adalah media
untuk menuju kepada kehidupan akhirat, sementara kehidupan akhirat adalah
kelanjutan dari kehidupan dunia. Bahkan kualitas kehidupan akhirat merupakan
konsekuensi atas kualitas kehidupan dunia. Karena segala perbuatan manusia
didunia dalam bentuk apapun memiliki kaitan dengan akhirat.
Islam
melihat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Tuhan dimuka bumi dan harus
melakukan perannya sebagai khalifah dan hamba Allah SWT. Untuk itu, akal, pikiran
dan jiwa raga dan berbagai potensi lainnya yang ada dalam diri manusia harus
dibina secara optimal. Sarana yang paling efektif untuk membina manusia yang
demikian itu adalah dengan memberikan pendidikan yang didasarkan pada ajaran
Islam.
Pendidikan
Islam mempunyai peranan penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia. Secara ideal pendidikan islam berfungsi untuk menyiapkan kualitas SDM
yang tinggi yakni tentang penguasaan baik ilmu pengetahuan maupun pengamalan
ajaran agama. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus bersifat integral,
harmonis dan universal agar manusia mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah
dan hamba Allah.
Konsep pendidikan seperti inilah yang
diusung oleh Muhammad Natsir pada era akhir colonial Belanda. Salah satu perspektif
yang dilakukan Natsir dalam mengintegrasikan pendidikan adalah dengan membangun
lembaga pendidikan Islam (Pendis) yang integratif, yaitu menggabungkan antara
pendidikan agama dan pendidikan umum sehingga tidak terjadi jurang pemisah
antara keduanya. Sebab pada saat itu, pendidikan agama banyak dipengaruhi oleh
Islam tradisionalis, sementara pendidikan pemerintah kolonial dan muslim
modernist menekankan pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi saja.
Pemikiran Natsir tentang pendidikan yang
integral pada saat ini telah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan
baik formal maupun non-formal. Namun, permasalahannya sekarang, apakah dalam
pelaksanaannya benar-benar terbukti dapat menyatukan antara ilmu agama dan ilmu
umum? Dan apakah adanya pengintegrasian ini justru pendidikan Islam akan malah
ternomor duakan, sebab menurut sepengetahuan penulis, para peserta didik
(misalnya:UIN Surabaya) banyak yang menaruh minat mereka pada ilmu-ilmu umum,
bukan pada ilmu-ilmu agama. Lalu, bagaimanakah sebenarnya konsep
pengintegrasian pendidikan yang diusung oleh Muhammad Natsir? Dan bagaimanakah
implementasinya terhadap pendidikan Islam di Indonesia sekarang?
B. Riwayat Hidup Muhammad Natsir
Muhammad Natsir lahir di Jembatan Berukir,
Alahan Panjang, kabupaten Solok Sumatera Barat, pada hari Jum’at, 17 Jumadil
Akhir 1326 H / 17 Juli 1908 M.[1] Ia
mempunyai tiga orang saudara kandung. Ibunya bernama Khadijah yang dikenal
ta’at memegang nilai-nilai ajaran Islam, sedangkan ayahnya bernama Idris Sutan
Saripado, seorang juru tulis kontroler di masa pemerintahan Belanda.[2]
Kondisi orang tua yang sering berpindah
tugas, ikut pula mempengaruhi pendidikan Muhammad Natsir. Riwayat pendidikan
Natsir dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) di Maninjau yang memakai bahasa Melayu
sebagai bahasa pengantar. Ketika ayahnya pindah di Bekeni, ia tinggal bersama
pamannya di Padang dan mengikuti pendidikan formal di HIS (Holland Inlandse
School) Adabiah.[3] Di
tempat ini ia tidak hanya belajar di lembaga pendidikan formal, tapi juga
mendalami pengetahuan agama di Madrasah Diniyah.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di HIS,
Natsir melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijjs)
setingkat SMP dengan bantuan beasiswa. Dari MULO inilah Natsir mengenal
organisasi. Mula-mula ia bergabung di Jong Sumatranen Bond (Sarikat
Pemuda Sumatera) yang pada waktu itu diketuai oleh Sanusi Pane. Kemudian ia
merembet menjadi anggota Jong Islamieten Bond (Sarikat Pemuda Islam),
serta Pandu Nationale Islamietische Pavinderij (Natipij), sejenis Pramuka
pada saat ini.[4]
Aktivitas Natsir semakin berkembang ketika
ia menjadi siswa di AMS (Algemenee Midelbare School) setingkat SMA di
Bandung dan mengambil sastra Barat Klasik.[5]
Disinilah Natsir mengenal A. Hasan
(1887-1958), seorang tokoh pemikir modernist-radikal dan pendiri Persis
(Persatuan Islam) dan H. Agus Salim.
Sebagai seorang yang pernah hidup pada
dalam suasana tradisi religious dan mempunyai pengetahuan agama yang memadai,
Natsir menilai bahwa pola pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial
Belanda tidak sesuai dengan harapannya sebagai seorang Muslim, sebab bukan saja
akan mendangkalkan kesadaran agama yang dianutnya tetapi juga akan membuat
antipasti terhadap ajaran agama Islam. Apalagi setiap hari Minggu para siswa
disuruh untuk mendengarkan ceramah dari pendeta.
Pada bulan Maret 1932, Persis menyelenggarakan
pertemuan kaum Muslimin di Bandung yang mengangkat persoalan di bidang
pendidikan. Pertemuan itu melahirkan suatu perkumpulan yang diberi nama
Pendidikan Islam (Pendis). Tujuan utama didirikannya Pendis ini adalah
meningkatkan mutu pendidikan dengan melakukan perombakan pada kurikulum, yakni
dengan menanamkan roh Islam pada setiap mata pelajaran yang diajarkan pada
siswa. Untuk mencapai tujuan tersebut maka didirikan sekolah-sekolah mulai dari
Taman Kanak-Kanak, HIS, MULO, pertukangan, perdagangan, kursus-kursus, ceramah,
dan lain sebagainya.[6]
Selain itu, pada bulan April 1945 ia terlibat dalam pendirian Sekolah Tinggi
Islam (sekarang bernama UII) bersama Bung Hatta, Kahar Muzakkir dll.
Dalam dunia pendidikan, Natsir memperoleh
gelar doctor Honoris Causa (HC) dari Universitas Islam Libanon pada tahun 1967
dibidang sastra. Pada tahun1991, ia memperoleh gelar yang sama dari Universitas
Malaysia dan Universitas Saint Teknologi Malaysia dalam bidang pemikiran islam.
Selain aktif didunia pendidikan,
pengalamannya dibidang politik juga tak kalah menariknya untuk dibahas. Pada
tahun 1945-1946 ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Kemudian menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia pada kabinet Syahrir
ke-1 dan ke-2 serta kabinet Hatta ke-1. Selain itu ia juga menjadi ketua
Masyumi pada tahun 1949-1958. Dan pada tahun 1950-1951 ia diangkat menjadi
Perdana Menteri. Selanjutnya pada tahun1955 ia terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, dan tahun 1956-1957 ia menjadi anggota Konstituante Republik Indonesia.
Karir politiknya ini terhenti, ketika ia berselisih paham dengan Soekarno. Karena
Natsir ingin menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Pada masa Orde Baru pun, ia
juga tersingkir dari pemerintahan karena perbedaan ideologi.[7]
Menurut catatan sejarah, kepiawaiannya dalam bidang kenegaraan, keislaman dan
perjuangan tidak hanya diakui dalam skala nasional saja, bahkan juga
internasional.
Selain berkiprah di bidang pendidikan dan
politik, ia juga termasuk tokoh intelektual Muslim yang produktif. Natsir telah
menghasilkan karya lebih dari 52 judul buku yang ditulisnya dari tahun 1930. Diantaranya:
Islam sebagai Ideologi (1951), Agama dan Negara, Falsafah Perjuangan
Islam (1951), Kapita Selecta 1 (1954), Islam sebagai Dasar Negara
(1954), Some Observation, Concerning the Rule of Islam in National and
International Affair (1954), Fiqh Dakwah (1965), dan masih banyak
lagi.
Natsir memiliki 6 orang anak dari hasil pernikahannya
dengan Nurhanar, seorang guru Taman Kanak-kanak Pendidikan Islam. Namun, dari
keenam orang anaknya itu, tidak ada seorangpun yang mengikuti jejak ayahnya.
Yang melanjutkan pemikiran Natsir dan selanjutnya dikenal dengan Natsir Muda
adalah Nurcholis Madjid. Pada tanggal 6 Februari 1993 atau bertepatan dengan 14
Sya’ban 1413 H, Natsir berpulang ke rahmatullah dalam usia 85 tahun di Rs.
Mangunkusumo Jakarta. Berita kematiannya
ini dilansir diberbagai media cetak dan elektronik. Mantan Perdana Menteri Jepang
yang diwakili Nakajima mengungkapakan, “berita wafatnya Muhammad Natsir
terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima”.[8]
C. Konsep Muhammad Natsir Tentang Pendidikan Islam di Indonesia
Dalam ajaran Islam, terdapat dua hukum yang
mengatur kehidupan manusia. Yakni, hukum-hukum mengenai alam fisik (sunnatullah),
dan pedoman hidup dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia (dinullah).
Studi tentang alam fisik dilakukan dengan mempelajari ilmu fisika, geologi,
geografi, biologi dll. Sedangkan studi tentang tata kehidupan manusia dilakukan
dengan mempelajari ilmu sosiologi, politik, hukum, antropologi dan sebagainya.
Oleh karena itu, semua ilmu-ilmu tersebut harus dipelajari dalam lembaga
pendidikan Islam.
Konsep inilah yang diusung oleh Muhammad Natsir,
yakni pendidikan yang integral. Pendidikan integralistik tersebut berdasarkan
Tauhid dan bertujuan untuk menjadikan manusia yang mengabdikan diri kepada
kepada Allah dengan tidak mengesampingkan kehidupan di dunia.[9]
Hal pertama yang dibicarakan Natsir adalah
tujuan pendidikan. Seringkali kita membandingkan dan mempertentangkan antara
pendidikan Timur dan pendidikan di Barat. Dimana pendidikan Timur adalah
pendidikan Islam, sedangkan pendidikan Barat adalah pendidikan sekuler. Dalam
hal ini Natsir menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai keduanya adalah
sama, yakni tujuan hidup. Natsir mengatakan,”keduanja tidak dapat dipisahkan,
keduanja sama (identiek), tudjuan didikan ialah tudjuan hidup”[10]
Dalam hal ini, Natsir menggunakan surat
adz-Dzariyat sebagai dasarnya, “Dan Aku (Allah) tidak jadikan jin dan
manusia, melainkan untuk menyembah Aku” (adz-Dzariyat:56)
Ayat diatas menurut Natsir merupakan asas
dari tujuan pendidikan. Selanjutnya, Natsir menjelaskan bahwa asas yang
mendasari pendidikan islam adalah Tauhid, karena inilah yang menjadi pangkal
tolak dalam berbuat dan tempat kembalinya semua amal perbuatan. Ajaran Tauhid
manifestasinya adalah pembentukan kepribadian yang berakhlaqul karimah seperti
yang tertuang dalam tujuan pendidikan islam itu sendiri. Pendidikan yang
didasarkan pada tauhid ini intinya terletak pada Syahadah, dimana syahadah jika
dilihat dari sisi pendidikannya merupakan suatu pernyataan pembebasan dari
segala macam belenggu yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Seperti yang kita
ketahui bahwa pendidikan islam merupakan suatu usaha berproses yang dilakukan
manusia secara sadar untuk membimbing manusia menuju kesempurnaan berdasarkan
Islam.[11]
Menurut Natsir seperti yang dikutip
Daradjat bahwa tauhid mempunyai dua sisi. Sisi pertama dari tauhid adalah
memperkokoh kesadaran batin manusia, menumbuhkan spriritualitas yang mendalam
dan juga menjadi basis etika pribadi. Sementara sisi kedua dari tauhid
berisikan penekanan pada kesatuan universal umat manusia sebagai umat yang
satu, berdasarkan persamaan, keadilan, kasih sayang, toleransi dan kesabaran.
Jadi dalam konteks kemanusiaan, tauhid menegaskan prinsip humanisme yang
universal berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunah.[12]
Sebagai manifest dari tauhid adalah
penghambaan. Penghambaan disini bukanlah penghambaan dalam arti terbatas pada
kewajiban menjalankan ibadah shalat dan puasa saja, tetapi harus dilihat
sebagai usaha untuk memakmurkan umat manusia. Menurut Natsir,”perhambaan
kepada Allah jang djadi tudjuan hidup dan djadi tudjuan didika kita, bukanlah
suatu perhambaan jang memberi keuntungan kepada jang disembah, tetapi
perhambaan jang mendatangkan kebahagiaan kepada jang menjembah.”[13]
Dan untuk dapat mencapai tujuan itu, maka diperlukan pendidikan yang
berkualitas tinggi, yakni pendidikan yang dapat memberikan ilmu pengetahuan
yang luas baik ilmu umum maupun ilmu agama.[14]
Jadi, menurut Natsir tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup
manusia Muslim, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi dan hamba-hamba Allah
yang senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT. Serta dapat mencapai kehidupan
bahagia dunia akhirat.
Tidak terlalu sulit disepakati bahwa agama
harus diintegrasikan keseluruh aspek kehidupan manusia, agar menjadikannya
rahmat bagi alam semesta. Maka wajar saja jika muncul gagasan untuk
mengintegrasikan agama dan ilmu umum. Lalu, bagaimanakah pola integrasi yang
diharapkan oleh Natsir?
Natsir mengemukakan bahwa antara Pendidikan
Barat (secular sciences) dan pendidikan Timur (religious sciences)
masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Seorang pendidik hendaknya
tidak membeda-bedakan antara keduanya, Natsir mengatakan,”seorang pendidik
Islam tidak usah memperdalam-dalam dan memperbesar-besarkan antagonism
(pertentangan) antara Barat dengan Timur. Islam hanja mengenal antagonism
antara hak dan batil. Semua jang hak akan ia terima, biarpun datangja dari
Barat, semua jang batil akan ia singkirkan walaupun datangja dari Timur”.[15]
Demikian pula, Islam juga tidak mengenal
dikotomi intelegensia. Pada era kolonial, dikotomi tersebut terlihat sangat
jelas sekali, orang-orang yang berintelektual adalah mereka yang memiliki kemampuan berbahasa Belanda.
Sedangkan mereka yang memiliki kemampuan berbahasa Arab hanya disebut sebagai
‘kiai kampung’ atau ‘urang siak’.[16] Dalam
perkembangannya, golongan intelektual yang pandai berbahasa Arab menjadi
terbelakang, bukan karena mereka bodoh, tetapi kalah dalam sistem. Mereka yang
pandai berbahasa asing (Belanda) memiliki derajat yang tinggi dalam masyarakat,
tapi sebaliknya, mereka yang memiliki kemampuan berbahasa Arab dianggap kuno
dan ketinggalan zaman. Namun, bagi Natsir hal tersebut justru merupakan suatu
kesempatan bagi pendidikan Islam. Pendidikan Islam mempunyai peluang untuk
memperkokoh dasar yang sudah ada kemudian menjadikannya senjata untuk bersaing
dengan dunia luar. Seperti yang diungkapkan Natsir:
”sepantasnya terlebih dahulu kita usahakan Sekolah
Tinggi jang akan memperkokoh dasar jang sudah ada, jang akan memperlengkapi
dengan rempah ragam bahasa dan ilmu pengetahuan dasar-dasar agama jang ada pada
mereka, jang perlu untuk berhadapan dengan segala matjam lapisan masjarakat,
sebagai propagandis Islam. Supaya hilang perasaan asing dari pergaulan hidup,
supaja kembali kepertjajaan hidup akan harga diri, bila berhadapan dengan jang
bergelar modern”.[17]
Jadi, nilai dasar dalam sebuah pendidikan
itu harus terangkum jelas. Untuk itu Natsir meluruskan kembali tentang peran dan fungsi
pendidikan. Menurutnya, pendidikan adalah suatu kegiatan jasmani dan rohani
yang menuju pada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan
arti yang sesungguhnya.[18]
Dalam hal ini, Natsir menjelaskan bahwa manusia harus mencari jalan untuk
mengatasi segala persoalan hidup melalui pendidikan, yakni dengan
mengaktualisasikan aspek-aspek ke-Islaman dalam realitas kehidupan. Disamping
itu, Natsir juga menjelaskan bahwa pendidikan islam harus dapat mencetak
pribadi-pribadi yang dapat melepaskan diri dari sifat ketergantungan orang lain
guna mencapai aktualisasi untuk mandiri.
Sedangkan peran pendidikan yang dikemukakan
oleh Natsir terangkum dalam enam point seperti yang dikutip oleh Nata. Pertama,
pendidikan harus dapat berperan dalam membimbing manusia agar sempurna secara
jasmani dan rohani. Kedua, pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan
peserta didik yang berintelektual dan berakhlakul karimah. Ketiga,
pendidikan harus berperan agar menghasilkan manusia yang jujur dan benar. Keempat,
pendidikan mempunyai peran untuk membawa manusia agar dapat mencapai tujuan
hidupnya, yakni sebagai hamba Allah. Kelima, pendidikan harus dapat
menjadikan manusia dalam segala tingkah lakunya selalu menjadi rahmat bagi
seluruh alam. Dan yang terakhir, pendidikan harus dapat mendorong sifat-sifat
kebaikan manusia, bukan sebaliknya.[19]
Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan
mempunyai peran yang amat sangat penting untuk menjamin perkembangan dan
keberlangsungan kehidupan suatu bangsa. Pendidikan juga dapat menjadi tolak
ukur kehidupan suatu masyarakat, seperti yang diungkapkan Noer Syam, “hubungan
masyarakat dengan pendidikan menampakkan hubungan korelasi yang positif, dimana
pendidikan yang maju dan modern akan menghasilkan masyarakat yang maju dan
modern pula. Sebaliknya pendidikan yang maju dan modern hanya akan ditemui dan
diselenggarakan oleh masyarakat yang maju dan modern”.[20]
Pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi
antara ilmu agama dan ilmu umum, karena dikotomi itu akan mempersempit makna
pendidikan Islam itu sendiri. Berbagai ilmu dan perspektif intelektual yang
dikembangkan dalam dunia Islam memang mempunyai struktur, tetapi struktur itu
nantinya akan bermuara kembali pada pengetahuan tentang Yang Maha Esa sebagai
substansi dari segenap ilmu pengetahuan.
Untuk dapat mengembangkan ilmu pengetahuan
secara sistematis dan komprehensif, maka diperlukan corak pendidikan yang lebih
variatif, bisa berbentuk lembaga keagamaan maupun lembaga pendidikan umum. Bagi
lembaga keagamaan meskipun idealnya berorientasi pada pembinaan liyatafaqqahu
fi al-ddin (ulama), yaitu orang-orang yang memahami persoalan agama, namun
juga harus dilengkapi dengan kemampuan dasar pengetahuan umum minimal sebatas
kebutuhan individual. Begitu juga sebaliknya dengan lembaga pendidikan umum
yang semestinya berorientasi untuk mencetak ulul albab (intelektual),
namun ia juga harus dilengkapi dengan pengetahuan dasar keagamaan agar dapat
menerapkan nilai-nilai akhlaq al-karimah dalam sikap dan semua
tindakannya.[21]
Dari uraian yang telah dijelaskan, dapat
dikatakan bahwa upaya pengintegrasian antara pendidikan umum dan pendidikan
agama harus tetap memegang nilai-nilai ke-Islaman sebagai dasar agar tidak
keluar dari jalur dan pedoman yang telah ditentukan dalam agama Islam. Integrasi
yang dilakukan Natsir tidak sekedar mensejajarkan antara pendidikan agama dan
pendidikan umum, tetapi lebih kearah bagaimana agar bisa mencetak peserta didik
yang berintelektual dan ber akhlaq al-karimah. Lebih jauh,
pendidikan Islam mempunyai tanggung jawab dalam dua dimensi, yakni duniawi dan
ukhrawi, tujuannya untuk membantu setiap muslim agar dapat merealisasikan misi
hidupnya seperti yang digariskan Allah SWT, yaitu:
·
Hamba Allah yang hanya mengabdi kepada Nya
(Adz-Dzariyat:56)
·
Membebaskan diri dari siksa api neraka (at-Tahrim:6)
·
Memiliki keselarasan dan keseimbangan
antara dunia-akhirat (al-Qashas:77)
·
Satu-satunya makhluk pemegang amanah Allah
untuk memelihara, mengelola, dan memanfaatkan alam semesta bagi
kesejahteraannya (al-Baqarah:50)
·
Membentuk pribadi yang memiliki dasar iman
yang kuat serta wawasan keilmuan yang luas (al-Fath:11)[22]
D. Implementasi Pemikiran Natsir Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia
Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad
Natsir tentang pendidikan yang integral, telah banyak dikembangkan pada dunia
pendidikan saat ini, baik itu pendidikan formal maupun non-formal. Contoh
konrit adalah adanya konversi dari IAIN menjadi UIN. Pertayaannya sekarang,
apakah pola integrasi yang diterapkan sesuai dengan konsep yang diusung oleh
Muhammad Natsir? Disini penulis akan menguraikan sedikit tentang pola integrasi
yang diterapkan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Persiapan menuju era industrialisasi telah
menyebabkan orientasi pendidikan masyarakat berubah dari ‘belajar untuk mencari
ilmu’ menjadi ‘belajar untuk memperoleh pekerjaan’, akibatnya pendidikan umum
lebih diutamakan daripada pendidikan agama. Untuk menghadapi tantangan
tersebut, dibentuklah sebuah Institusi Islam menjadi Universitas Islam.
Lahirnya Universitas Negeri yang nota-bene
merupakan sebuah institusi Islam menuntut munculnya paradigma baru. Paradigma
ini menjadi niscaya karena variable keilmuannya tidak hanya berurusan dengan
realitas hidup dan realitas manusia sebagaimana dalam ilmu-ilmu umum, tetapi
juga menyangkut realitas teks sebagaimana khas ilmu agama atau lebih tepatnya
ilmu-ilmu keIslaman.
Perubahan Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Sunan Kalijaga menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
bukan hanya sekedar merubah nama saja, tetapi juga merubah secara substansial
baik akademik, manajemen, administrasi, system informasi, sarana prasarana
maupun kemahasiswaan. Perubahan itu juga bukan hanya perubahan gedung baru yang
megah tetapi yang lebih penting lagi adalah perubahan main set dan corporate
culture.
Ada tiga model pendekatan yang ditawarkan
Amin Abdullah dalam pengintegrasian, pertama, single entity, maksudnya
pengetahuan agama berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan metodologi yang
digunakan oleh ilmu pengetahuan umum yang lain. Hal ini dimungkinkan adanya
pengintegrasian antara dua macam ilmu namun tidak ada keterkaitan dalam
membangun metodologi dan filsafatnya. Kedua, isolated entities, yakni
masing-masing rumpun ilmu mengetahui posisi rumpun ilmu yang lain. Ketiga, interconnected
entities, yakni masing-masing rumpun ilmu menyadari akan keterbatasannya
dalam memecahkan persoalan manusia, kemudian menjalin kerjasama dalam hal
pendekatan (approach), metode berpikir dan metode penelitian (process
and procedure).[23]
Perubahan Institut menjadi Universitas
dilakukan untuk mencanangkan sebuah paradigma baru dalam melihat dan melakukan
studi terhadap ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Yaitu paradigma integrasi
interkoneksi. Paradigma ini mensyaratkan adanya upaya untuk mendilogkan secara
terbuka dan intensif antara hadharah al-ilm, hadharah an-nass, dan
hadharah al-falsafah.[24]
Mengubah IAIN menjadi UIN bukanlah
persoalan yang mudah, sebab membutuhkan proses yang panjang dan kontinu. Tekad
dan perubahan itu telah dicanangkan dan dijabarkan dalam bentu visi dan misi
oleh UIN Sunan Kalijaga. Maka dari itu segala kegiatan yang tidak sesuai dengan
visi dan misi harus diubah menjadi lebih baik agar sejalan dengan apa yang
diharapkan.
Adapun visi dari UIN Sunan Kalijaga adalah Unggul dan terkemuka dalam pemaduan dan pengembangan studi keislaman dan keilmuan bagi peradaban. Sedangkan misinya adalah memadukan dan mengembangkan studi keislaman, keilmuan, dan keindonesiaan
dalam pendidikan dan pengajaran, mengembangkan budaya
ijtihad dalam penelitian multidisipliner yang bermanfaat bagi kepentingan akademik,
masyarakat, dan lingkungan, meningkatkan peran
serta universitas dalam penyelesaian persoalan bangsa berdasarkan pada wawasan keislaman
dan keilmuan bagi terwujudnya masyarakat madani, Membangun kepercayaan dan mengembangkan
kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan Tridharma
Perguruan Tinggi.
Berangkat dari misi tersebut, maka mahasiswa
yang diidealkan di UIN Sunan Kalijaga adalah mahasiswa yang memiliki kemampuan
akademik yang memadai, menguasai bidang studinya secara professional,
dilengkapi dengan ketrampilan yang dibutuhkan dimasyarakat dan didunia kerja
serta menghiasi diri dengan akhlaq al-karimah.[25]
Dengan kata lain, nantinya output yang ingin dihasilkan oleh UIN Sunan Kalijaga
adalah manusia yang berkarakter; berpikir metodologis, terampil melakukan dan
mampu bermasyarakat dalam bingkai nilai-nilai agama, kemanusiaan,
berintelektual dan bertanggung jawab.
Jika dicermati, maka akan tampak bahwa UIN
Sunan Kalijaga dibangun diatas tiga prinsip dasar dalam memandang para peserta
didiknya. Ketiga prinsip tersebut adalah: 1) mahasiswa adalah insan akademik
yang memiliki ide dan kreatifitas, 2) sebagai insan akademik, maka mahasiswa
harus memiliki pengetahuan yang luas, baik dibidang agama maupun umum, 3)
memiliki ketrampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat sekitar.
Melalui penjelasan yang singkat ini,
integrasi yang ada di UIN Sunan Kalijaga memiliki kesamaan dengan konsep
integrasi yang dicanangkan oleh Muhammad Natsir. Hanya saja yang membedakan
adalah factor yang melatarbelakangi proses integrasi tersebut. Natsir berangkat
dari sebuah kegelisahan dikotomik yang terjadi pada masanya yang lebih banyak
dipengaruhi oleh factor politik. Sedangkan apa yang diterapkan di UIN Sunan
Kalijaga murni karena dalam dunia akademik.
E. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijelaskan, dapat
disimpulkan bahwa konsep pendidikan yang dicanangkan oleh Muhammad Natsir
adalah adanya pengintegrasian antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Konsep
integrasi tersebut bisa dilihat dari tiga komponen pendidikan yang perlu
mendapat perhatian khusus. Pertama, tentang peran dan fungsi pendidikan.
Kedua, tujuan pendidikan dan tentang dasar pendidikan.
Konsep integrasi Natsir booming dikalangan Institut-institut
Islam pada akhir-akhir ini, yakni adanya perubahan dari IAIN menjadi UIN.
Konsep ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diharapkan Muhammad Natsir. Namun,
bagaimanakah output para peserta didik dari adanya integrasi tersebut? Sudahkah
sesuai dengan yang diharapkan?
Bagaimanapun juga hasilnya, jika ditanggapi
secara positif, proses integrasi tersebut tidak akan menjadikan pendidikan
Islam semakin ter-nomor duakan, sebab kalau pendidikan islam dan pendidikan
umum terdikotomi, maka pendidikan Islam justru akan malah terkungkung dalam
tempurung, tidak akan pernah bisa berkembang selamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di
Perguruan Tinggi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2006.
_________,
dkk. Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi.
Yogyakarta:SUKA Press, 2007.
Aly, Hery Nur. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:Logos
Wacana Ilmu, 1999
Daradjat, Zakiah, Pembinaan Akhlaq
Remaja, Jakarta: Bulan Bintang, t.th.
Hasbullah. Kapita Selekta Pendidikan Islam,
Jakarta:Grafindo Persada, 1996.
Iskandar Z, dkk, Dinamika Ilmu, Samarinda:STAIN
Samarinda, 2004.
Nata, Abudin.
Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2004.
Natsir, Muhammad, Kapita Selecta, Jakarta:Bulan
Bintang, 1973.
Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta:Kalam Mulia, 2009.
Syam, Noer. Filsafat
Pendidikan Dasar & Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila .Surabaya:Usaha
Nasional, 1986.
[1] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan
Islam Indonesia (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004), 73
[2] Sebagai seorang pegawai bawahan, ayahnya sering
berpindah tugas dari satu daerah ke daerah yang lain. Semula ditugaskan
didaerah asalnya Alahan Panjang, kemudian dipercaya menjadi asisten Demang di
Bonjol, brikutnya menjadi juru tulis kontroler di Maninjau, lalu dimutasikan
sebagai sipir di Bekeru Sulawesi Selatan menjelang pension dikembalikan lagi
ketempat tugas semula di Alahan Panjang.
[3] Sebuah sekolah yang mengacu pada sekolah Belanda yang
dilengkapi dengan pelajaran agama Islam. Lihat Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam (Jakarta:Kalam Mulia, 2009), 361
[6] Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan, 76
[9] Adanya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum pada
masanya, Natsir mencoba untuk mencari jalan keluar yakni dengan mendirikan
lembaga pendidikan islam yang kurikulumnya diolah dan diformulasikan antara
pendidikan umum dan pendidikan agama untuk menjembatani antara keduanya, hal
ini dimaksudkan agar tidak ada dikotomi dalam dunia pendidikan di Indonesia
pada saat itu.
[10]
Muhammad Natsir, Kapita Selecta (Jakarta:Bulan Bintang,
1973), 82
[13] Natsir, Kapita, 84
[14] Nata, Tokoh-tokoh Pendidikan, 85
[15]
Natsir, Kapita Selecta, 85
[20] Noer Syam, Filsafat Pendidikan Dasar & Dasar
Filsafat Pendidikan Pancasila (Surabaya:Usaha Nasional, 1986), 348
[23] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2006), 371
[25] M. Amin Abdullah dkk, Islamic Studies dalam
Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta:SUKA Press, 2007), viii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar