Jumat, 08 Juni 2012

Muhammad Natsir dan Integrasi Ilmu



A.    Pendahuluan
Didalam Islam, antara dunia dan akhirat merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kehidupan dunia adalah media untuk menuju kepada kehidupan akhirat, sementara kehidupan akhirat adalah kelanjutan dari kehidupan dunia. Bahkan kualitas kehidupan akhirat merupakan konsekuensi atas kualitas kehidupan dunia. Karena segala perbuatan manusia didunia dalam bentuk apapun memiliki kaitan dengan akhirat.
      Islam melihat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Tuhan dimuka bumi dan harus melakukan perannya sebagai khalifah dan hamba Allah SWT. Untuk itu, akal, pikiran dan jiwa raga dan berbagai potensi lainnya yang ada dalam diri manusia harus dibina secara optimal. Sarana yang paling efektif untuk membina manusia yang demikian itu adalah dengan memberikan pendidikan yang didasarkan pada ajaran Islam.
      Pendidikan Islam mempunyai peranan penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Secara ideal pendidikan islam berfungsi untuk menyiapkan kualitas SDM yang tinggi yakni tentang penguasaan baik ilmu pengetahuan maupun pengamalan ajaran agama. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus bersifat integral, harmonis dan universal agar manusia mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah dan hamba Allah.
Konsep pendidikan seperti inilah yang diusung oleh Muhammad Natsir pada era akhir colonial Belanda. Salah satu perspektif yang dilakukan Natsir dalam mengintegrasikan pendidikan adalah dengan membangun lembaga pendidikan Islam (Pendis) yang integratif, yaitu menggabungkan antara pendidikan agama dan pendidikan umum sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara keduanya. Sebab pada saat itu, pendidikan agama banyak dipengaruhi oleh Islam tradisionalis, sementara pendidikan pemerintah kolonial dan muslim modernist menekankan pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi saja.
Pemikiran Natsir tentang pendidikan yang integral pada saat ini telah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Namun, permasalahannya sekarang, apakah dalam pelaksanaannya benar-benar terbukti dapat menyatukan antara ilmu agama dan ilmu umum? Dan apakah adanya pengintegrasian ini justru pendidikan Islam akan malah ternomor duakan, sebab menurut sepengetahuan penulis, para peserta didik (misalnya:UIN Surabaya) banyak yang menaruh minat mereka pada ilmu-ilmu umum, bukan pada ilmu-ilmu agama. Lalu, bagaimanakah sebenarnya konsep pengintegrasian pendidikan yang diusung oleh Muhammad Natsir? Dan bagaimanakah implementasinya terhadap pendidikan Islam di Indonesia sekarang?

B.     Riwayat Hidup Muhammad Natsir
Muhammad Natsir lahir di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, kabupaten Solok Sumatera Barat, pada hari Jum’at, 17 Jumadil Akhir 1326 H / 17 Juli 1908 M.[1] Ia mempunyai tiga orang saudara kandung. Ibunya bernama Khadijah yang dikenal ta’at memegang nilai-nilai ajaran Islam, sedangkan ayahnya bernama Idris Sutan Saripado, seorang juru tulis kontroler di masa pemerintahan Belanda.[2]
Kondisi orang tua yang sering berpindah tugas, ikut pula mempengaruhi pendidikan Muhammad Natsir. Riwayat pendidikan Natsir dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) di Maninjau yang memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Ketika ayahnya pindah di Bekeni, ia tinggal bersama pamannya di Padang dan mengikuti pendidikan formal di HIS (Holland Inlandse School) Adabiah.[3] Di tempat ini ia tidak hanya belajar di lembaga pendidikan formal, tapi juga mendalami pengetahuan agama di Madrasah Diniyah.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di HIS, Natsir melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijjs) setingkat SMP dengan bantuan beasiswa. Dari MULO inilah Natsir mengenal organisasi. Mula-mula ia bergabung di Jong Sumatranen Bond (Sarikat Pemuda Sumatera) yang pada waktu itu diketuai oleh Sanusi Pane. Kemudian ia merembet menjadi anggota Jong Islamieten Bond (Sarikat Pemuda Islam), serta Pandu Nationale Islamietische Pavinderij (Natipij), sejenis Pramuka pada saat ini.[4]
Aktivitas Natsir semakin berkembang ketika ia menjadi siswa di AMS (Algemenee Midelbare School) setingkat SMA di Bandung dan mengambil sastra Barat Klasik.[5] Disinilah  Natsir mengenal A. Hasan (1887-1958), seorang tokoh pemikir modernist-radikal dan pendiri Persis (Persatuan Islam) dan H. Agus Salim.
Sebagai seorang yang pernah hidup pada dalam suasana tradisi religious dan mempunyai pengetahuan agama yang memadai, Natsir menilai bahwa pola pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda tidak sesuai dengan harapannya sebagai seorang Muslim, sebab bukan saja akan mendangkalkan kesadaran agama yang dianutnya tetapi juga akan membuat antipasti terhadap ajaran agama Islam. Apalagi setiap hari Minggu para siswa disuruh untuk mendengarkan ceramah dari pendeta.
Pada bulan Maret 1932, Persis menyelenggarakan pertemuan kaum Muslimin di Bandung yang mengangkat persoalan di bidang pendidikan. Pertemuan itu melahirkan suatu perkumpulan yang diberi nama Pendidikan Islam (Pendis). Tujuan utama didirikannya Pendis ini adalah meningkatkan mutu pendidikan dengan melakukan perombakan pada kurikulum, yakni dengan menanamkan roh Islam pada setiap mata pelajaran yang diajarkan pada siswa. Untuk mencapai tujuan tersebut maka didirikan sekolah-sekolah mulai dari Taman Kanak-Kanak, HIS, MULO, pertukangan, perdagangan, kursus-kursus, ceramah, dan lain sebagainya.[6] Selain itu, pada bulan April 1945 ia terlibat dalam pendirian Sekolah Tinggi Islam (sekarang bernama UII) bersama Bung Hatta, Kahar Muzakkir dll.
Dalam dunia pendidikan, Natsir memperoleh gelar doctor Honoris Causa (HC) dari Universitas Islam Libanon pada tahun 1967 dibidang sastra. Pada tahun1991, ia memperoleh gelar yang sama dari Universitas Malaysia dan Universitas Saint Teknologi Malaysia dalam bidang pemikiran islam.
Selain aktif didunia pendidikan, pengalamannya dibidang politik juga tak kalah menariknya untuk dibahas. Pada tahun 1945-1946 ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Kemudian menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia pada kabinet Syahrir ke-1 dan ke-2 serta kabinet Hatta ke-1. Selain itu ia juga menjadi ketua Masyumi pada tahun 1949-1958. Dan pada tahun 1950-1951 ia diangkat menjadi Perdana Menteri. Selanjutnya pada tahun1955 ia terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan tahun 1956-1957 ia menjadi anggota Konstituante Republik Indonesia. Karir politiknya ini terhenti, ketika ia berselisih paham dengan Soekarno. Karena Natsir ingin menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Pada masa Orde Baru pun, ia juga tersingkir dari pemerintahan karena perbedaan ideologi.[7] Menurut catatan sejarah, kepiawaiannya dalam bidang kenegaraan, keislaman dan perjuangan tidak hanya diakui dalam skala nasional saja, bahkan juga internasional.
Selain berkiprah di bidang pendidikan dan politik, ia juga termasuk tokoh intelektual Muslim yang produktif. Natsir telah menghasilkan karya lebih dari 52 judul buku yang ditulisnya dari tahun 1930. Diantaranya: Islam sebagai Ideologi (1951), Agama dan Negara, Falsafah Perjuangan Islam (1951), Kapita Selecta 1 (1954), Islam sebagai Dasar Negara (1954), Some Observation, Concerning the Rule of Islam in National and International Affair (1954), Fiqh Dakwah (1965), dan masih banyak lagi.
Natsir memiliki 6 orang anak dari hasil pernikahannya dengan Nurhanar, seorang guru Taman Kanak-kanak Pendidikan Islam. Namun, dari keenam orang anaknya itu, tidak ada seorangpun yang mengikuti jejak ayahnya. Yang melanjutkan pemikiran Natsir dan selanjutnya dikenal dengan Natsir Muda adalah Nurcholis Madjid. Pada tanggal 6 Februari 1993 atau bertepatan dengan 14 Sya’ban 1413 H, Natsir berpulang ke rahmatullah dalam usia 85 tahun di Rs. Mangunkusumo Jakarta.  Berita kematiannya ini dilansir diberbagai media cetak dan elektronik. Mantan Perdana Menteri Jepang yang diwakili Nakajima mengungkapakan, “berita wafatnya Muhammad Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima”.[8]

C.    Konsep Muhammad Natsir Tentang Pendidikan Islam di Indonesia
Dalam ajaran Islam, terdapat dua hukum yang mengatur kehidupan manusia. Yakni, hukum-hukum mengenai alam fisik (sunnatullah), dan pedoman hidup dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia (dinullah). Studi tentang alam fisik dilakukan dengan mempelajari ilmu fisika, geologi, geografi, biologi dll. Sedangkan studi tentang tata kehidupan manusia dilakukan dengan mempelajari ilmu sosiologi, politik, hukum, antropologi dan sebagainya. Oleh karena itu, semua ilmu-ilmu tersebut harus dipelajari dalam lembaga pendidikan Islam.
Konsep inilah yang diusung oleh Muhammad Natsir, yakni pendidikan yang integral. Pendidikan integralistik tersebut berdasarkan Tauhid dan bertujuan untuk menjadikan manusia yang mengabdikan diri kepada kepada Allah dengan tidak mengesampingkan kehidupan di dunia.[9]
Hal pertama yang dibicarakan Natsir adalah tujuan pendidikan. Seringkali kita membandingkan dan mempertentangkan antara pendidikan Timur dan pendidikan di Barat. Dimana pendidikan Timur adalah pendidikan Islam, sedangkan pendidikan Barat adalah pendidikan sekuler. Dalam hal ini Natsir menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai keduanya adalah sama, yakni tujuan hidup. Natsir mengatakan,”keduanja tidak dapat dipisahkan, keduanja sama (identiek), tudjuan didikan ialah tudjuan hidup”[10]
Dalam hal ini, Natsir menggunakan surat adz-Dzariyat sebagai dasarnya, “Dan Aku (Allah) tidak jadikan jin dan manusia, melainkan untuk menyembah Aku” (adz-Dzariyat:56)
Ayat diatas menurut Natsir merupakan asas dari tujuan pendidikan. Selanjutnya, Natsir menjelaskan bahwa asas yang mendasari pendidikan islam adalah Tauhid, karena inilah yang menjadi pangkal tolak dalam berbuat dan tempat kembalinya semua amal perbuatan. Ajaran Tauhid manifestasinya adalah pembentukan kepribadian yang berakhlaqul karimah seperti yang tertuang dalam tujuan pendidikan islam itu sendiri. Pendidikan yang didasarkan pada tauhid ini intinya terletak pada Syahadah, dimana syahadah jika dilihat dari sisi pendidikannya merupakan suatu pernyataan pembebasan dari segala macam belenggu yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan islam merupakan suatu usaha berproses yang dilakukan manusia secara sadar untuk membimbing manusia menuju kesempurnaan berdasarkan Islam.[11]
Menurut Natsir seperti yang dikutip Daradjat bahwa tauhid mempunyai dua sisi. Sisi pertama dari tauhid adalah memperkokoh kesadaran batin manusia, menumbuhkan spriritualitas yang mendalam dan juga menjadi basis etika pribadi. Sementara sisi kedua dari tauhid berisikan penekanan pada kesatuan universal umat manusia sebagai umat yang satu, berdasarkan persamaan, keadilan, kasih sayang, toleransi dan kesabaran. Jadi dalam konteks kemanusiaan, tauhid menegaskan prinsip humanisme yang universal berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunah.[12]
Sebagai manifest dari tauhid adalah penghambaan. Penghambaan disini bukanlah penghambaan dalam arti terbatas pada kewajiban menjalankan ibadah shalat dan puasa saja, tetapi harus dilihat sebagai usaha untuk memakmurkan umat manusia. Menurut Natsir,”perhambaan kepada Allah jang djadi tudjuan hidup dan djadi tudjuan didika kita, bukanlah suatu perhambaan jang memberi keuntungan kepada jang disembah, tetapi perhambaan jang mendatangkan kebahagiaan kepada jang menjembah.”[13] Dan untuk dapat mencapai tujuan itu, maka diperlukan pendidikan yang berkualitas tinggi, yakni pendidikan yang dapat memberikan ilmu pengetahuan yang luas baik ilmu umum maupun ilmu agama.[14] Jadi, menurut Natsir tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia Muslim, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi dan hamba-hamba Allah yang senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT. Serta dapat mencapai kehidupan bahagia dunia akhirat. 
Tidak terlalu sulit disepakati bahwa agama harus diintegrasikan keseluruh aspek kehidupan manusia, agar menjadikannya rahmat bagi alam semesta. Maka wajar saja jika muncul gagasan untuk mengintegrasikan agama dan ilmu umum. Lalu, bagaimanakah pola integrasi yang diharapkan oleh Natsir?
Natsir mengemukakan bahwa antara Pendidikan Barat (secular sciences) dan pendidikan Timur (religious sciences) masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Seorang pendidik hendaknya tidak membeda-bedakan antara keduanya, Natsir mengatakan,”seorang pendidik Islam tidak usah memperdalam-dalam dan memperbesar-besarkan antagonism (pertentangan) antara Barat dengan Timur. Islam hanja mengenal antagonism antara hak dan batil. Semua jang hak akan ia terima, biarpun datangja dari Barat, semua jang batil akan ia singkirkan walaupun datangja dari Timur”.[15]
Demikian pula, Islam juga tidak mengenal dikotomi intelegensia. Pada era kolonial, dikotomi tersebut terlihat sangat jelas sekali, orang-orang yang berintelektual adalah mereka yang  memiliki kemampuan berbahasa Belanda. Sedangkan mereka yang memiliki kemampuan berbahasa Arab hanya disebut sebagai ‘kiai kampung’ atau ‘urang siak’.[16] Dalam perkembangannya, golongan intelektual yang pandai berbahasa Arab menjadi terbelakang, bukan karena mereka bodoh, tetapi kalah dalam sistem. Mereka yang pandai berbahasa asing (Belanda) memiliki derajat yang tinggi dalam masyarakat, tapi sebaliknya, mereka yang memiliki kemampuan berbahasa Arab dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Namun, bagi Natsir hal tersebut justru merupakan suatu kesempatan bagi pendidikan Islam. Pendidikan Islam mempunyai peluang untuk memperkokoh dasar yang sudah ada kemudian menjadikannya senjata untuk bersaing dengan dunia luar. Seperti yang diungkapkan Natsir:

”sepantasnya terlebih dahulu kita usahakan Sekolah Tinggi jang akan memperkokoh dasar jang sudah ada, jang akan memperlengkapi dengan rempah ragam bahasa dan ilmu pengetahuan dasar-dasar agama jang ada pada mereka, jang perlu untuk berhadapan dengan segala matjam lapisan masjarakat, sebagai propagandis Islam. Supaya hilang perasaan asing dari pergaulan hidup, supaja kembali kepertjajaan hidup akan harga diri, bila berhadapan dengan jang bergelar modern”.[17]


Jadi, nilai dasar dalam sebuah pendidikan itu harus terangkum jelas. Untuk itu Natsir  meluruskan kembali tentang peran dan fungsi pendidikan. Menurutnya, pendidikan adalah suatu kegiatan jasmani dan rohani yang menuju pada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya.[18] Dalam hal ini, Natsir menjelaskan bahwa manusia harus mencari jalan untuk mengatasi segala persoalan hidup melalui pendidikan, yakni dengan mengaktualisasikan aspek-aspek ke-Islaman dalam realitas kehidupan. Disamping itu, Natsir juga menjelaskan bahwa pendidikan islam harus dapat mencetak pribadi-pribadi yang dapat melepaskan diri dari sifat ketergantungan orang lain guna mencapai aktualisasi untuk mandiri.
Sedangkan peran pendidikan yang dikemukakan oleh Natsir terangkum dalam enam point seperti yang dikutip oleh Nata. Pertama, pendidikan harus dapat berperan dalam membimbing manusia agar sempurna secara jasmani dan rohani. Kedua, pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan peserta didik yang berintelektual dan berakhlakul karimah. Ketiga, pendidikan harus berperan agar menghasilkan manusia yang jujur dan benar. Keempat, pendidikan mempunyai peran untuk membawa manusia agar dapat mencapai tujuan hidupnya, yakni sebagai hamba Allah. Kelima, pendidikan harus dapat menjadikan manusia dalam segala tingkah lakunya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Dan yang terakhir, pendidikan harus dapat mendorong sifat-sifat kebaikan manusia, bukan sebaliknya.[19]  
Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan mempunyai peran yang amat sangat penting untuk menjamin perkembangan dan keberlangsungan kehidupan suatu bangsa. Pendidikan juga dapat menjadi tolak ukur kehidupan suatu masyarakat, seperti yang diungkapkan Noer Syam, “hubungan masyarakat dengan pendidikan menampakkan hubungan korelasi yang positif, dimana pendidikan yang maju dan modern akan menghasilkan masyarakat yang maju dan modern pula. Sebaliknya pendidikan yang maju dan modern hanya akan ditemui dan diselenggarakan oleh masyarakat yang maju dan modern”.[20]
Pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, karena dikotomi itu akan mempersempit makna pendidikan Islam itu sendiri. Berbagai ilmu dan perspektif intelektual yang dikembangkan dalam dunia Islam memang mempunyai struktur, tetapi struktur itu nantinya akan bermuara kembali pada pengetahuan tentang Yang Maha Esa sebagai substansi dari segenap ilmu pengetahuan.
Untuk dapat mengembangkan ilmu pengetahuan secara sistematis dan komprehensif, maka diperlukan corak pendidikan yang lebih variatif, bisa berbentuk lembaga keagamaan maupun lembaga pendidikan umum. Bagi lembaga keagamaan meskipun idealnya berorientasi pada pembinaan liyatafaqqahu fi al-ddin (ulama), yaitu orang-orang yang memahami persoalan agama, namun juga harus dilengkapi dengan kemampuan dasar pengetahuan umum minimal sebatas kebutuhan individual. Begitu juga sebaliknya dengan lembaga pendidikan umum yang semestinya berorientasi untuk mencetak ulul albab (intelektual), namun ia juga harus dilengkapi dengan pengetahuan dasar keagamaan agar dapat menerapkan nilai-nilai akhlaq al-karimah dalam sikap dan semua tindakannya.[21]
Dari uraian yang telah dijelaskan, dapat dikatakan bahwa upaya pengintegrasian antara pendidikan umum dan pendidikan agama harus tetap memegang nilai-nilai ke-Islaman sebagai dasar agar tidak keluar dari jalur dan pedoman yang telah ditentukan dalam agama Islam. Integrasi yang dilakukan Natsir tidak sekedar mensejajarkan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, tetapi lebih kearah bagaimana agar bisa mencetak peserta didik yang berintelektual dan ber akhlaq al-karimah. Lebih jauh, pendidikan Islam mempunyai tanggung jawab dalam dua dimensi, yakni duniawi dan ukhrawi, tujuannya untuk membantu setiap muslim agar dapat merealisasikan misi hidupnya seperti yang digariskan Allah SWT, yaitu:
·         Hamba Allah yang hanya mengabdi kepada Nya (Adz-Dzariyat:56)
·         Membebaskan diri dari siksa api neraka (at-Tahrim:6)
·         Memiliki keselarasan dan keseimbangan antara dunia-akhirat (al-Qashas:77)
·         Satu-satunya makhluk pemegang amanah Allah untuk memelihara, mengelola, dan memanfaatkan alam semesta bagi kesejahteraannya (al-Baqarah:50)
·         Membentuk pribadi yang memiliki dasar iman yang kuat serta wawasan keilmuan yang luas (al-Fath:11)[22]

D.    Implementasi Pemikiran Natsir Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia
Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Natsir tentang pendidikan yang integral, telah banyak dikembangkan pada dunia pendidikan saat ini, baik itu pendidikan formal maupun non-formal. Contoh konrit adalah adanya konversi dari IAIN menjadi UIN. Pertayaannya sekarang, apakah pola integrasi yang diterapkan sesuai dengan konsep yang diusung oleh Muhammad Natsir? Disini penulis akan menguraikan sedikit tentang pola integrasi yang diterapkan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Persiapan menuju era industrialisasi telah menyebabkan orientasi pendidikan masyarakat berubah dari ‘belajar untuk mencari ilmu’ menjadi ‘belajar untuk memperoleh pekerjaan’, akibatnya pendidikan umum lebih diutamakan daripada pendidikan agama. Untuk menghadapi tantangan tersebut, dibentuklah sebuah Institusi Islam menjadi Universitas Islam.
Lahirnya Universitas Negeri yang nota-bene merupakan sebuah institusi Islam menuntut munculnya paradigma baru. Paradigma ini menjadi niscaya karena variable keilmuannya tidak hanya berurusan dengan realitas hidup dan realitas manusia sebagaimana dalam ilmu-ilmu umum, tetapi juga menyangkut realitas teks sebagaimana khas ilmu agama atau lebih tepatnya ilmu-ilmu keIslaman.
Perubahan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga bukan hanya sekedar merubah nama saja, tetapi juga merubah secara substansial baik akademik, manajemen, administrasi, system informasi, sarana prasarana maupun kemahasiswaan. Perubahan itu juga bukan hanya perubahan gedung baru yang megah tetapi yang lebih penting lagi adalah perubahan main set dan corporate culture.
Ada tiga model pendekatan yang ditawarkan Amin Abdullah dalam pengintegrasian, pertama, single entity, maksudnya pengetahuan agama berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan metodologi yang digunakan oleh ilmu pengetahuan umum yang lain. Hal ini dimungkinkan adanya pengintegrasian antara dua macam ilmu namun tidak ada keterkaitan dalam membangun metodologi dan filsafatnya. Kedua, isolated entities, yakni masing-masing rumpun ilmu mengetahui posisi rumpun ilmu yang lain. Ketiga, interconnected entities, yakni masing-masing rumpun ilmu menyadari akan keterbatasannya dalam memecahkan persoalan manusia, kemudian menjalin kerjasama dalam hal pendekatan (approach), metode berpikir dan metode penelitian (process and procedure).[23] 
Perubahan Institut menjadi Universitas dilakukan untuk mencanangkan sebuah paradigma baru dalam melihat dan melakukan studi terhadap ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Yaitu paradigma integrasi interkoneksi. Paradigma ini mensyaratkan adanya upaya untuk mendilogkan secara terbuka dan intensif antara hadharah al-ilm, hadharah an-nass, dan hadharah al-falsafah.[24]
Mengubah IAIN menjadi UIN bukanlah persoalan yang mudah, sebab membutuhkan proses yang panjang dan kontinu. Tekad dan perubahan itu telah dicanangkan dan dijabarkan dalam bentu visi dan misi oleh UIN Sunan Kalijaga. Maka dari itu segala kegiatan yang tidak sesuai dengan visi dan misi harus diubah menjadi lebih baik agar sejalan dengan apa yang diharapkan.
Adapun visi dari UIN Sunan Kalijaga adalah Unggul dan terkemuka dalam pemaduan dan pengembangan studi keislaman dan keilmuan bagi peradaban. Sedangkan misinya adalah memadukan dan mengembangkan studi keislaman, keilmuan, dan keindonesiaan dalam pendidikan dan pengajaran, mengembangkan budaya ijtihad dalam penelitian multidisipliner yang bermanfaat bagi kepentingan akademik, masyarakat, dan lingkungan, meningkatkan peran serta universitas dalam penyelesaian persoalan bangsa berdasarkan pada wawasan keislaman dan keilmuan bagi terwujudnya masyarakat madani, Membangun kepercayaan dan mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi.
Berangkat dari misi tersebut, maka mahasiswa yang diidealkan di UIN Sunan Kalijaga adalah mahasiswa yang memiliki kemampuan akademik yang memadai, menguasai bidang studinya secara professional, dilengkapi dengan ketrampilan yang dibutuhkan dimasyarakat dan didunia kerja serta menghiasi diri dengan akhlaq al-karimah.[25] Dengan kata lain, nantinya output yang ingin dihasilkan oleh UIN Sunan Kalijaga adalah manusia yang berkarakter; berpikir metodologis, terampil melakukan dan mampu bermasyarakat dalam bingkai nilai-nilai agama, kemanusiaan, berintelektual dan bertanggung jawab.
Jika dicermati, maka akan tampak bahwa UIN Sunan Kalijaga dibangun diatas tiga prinsip dasar dalam memandang para peserta didiknya. Ketiga prinsip tersebut adalah: 1) mahasiswa adalah insan akademik yang memiliki ide dan kreatifitas, 2) sebagai insan akademik, maka mahasiswa harus memiliki pengetahuan yang luas, baik dibidang agama maupun umum, 3) memiliki ketrampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat sekitar.
Melalui penjelasan yang singkat ini, integrasi yang ada di UIN Sunan Kalijaga memiliki kesamaan dengan konsep integrasi yang dicanangkan oleh Muhammad Natsir. Hanya saja yang membedakan adalah factor yang melatarbelakangi proses integrasi tersebut. Natsir berangkat dari sebuah kegelisahan dikotomik yang terjadi pada masanya yang lebih banyak dipengaruhi oleh factor politik. Sedangkan apa yang diterapkan di UIN Sunan Kalijaga murni karena dalam dunia akademik.

E.     Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan yang dicanangkan oleh Muhammad Natsir adalah adanya pengintegrasian antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Konsep integrasi tersebut bisa dilihat dari tiga komponen pendidikan yang perlu mendapat perhatian khusus. Pertama, tentang peran dan fungsi pendidikan. Kedua, tujuan pendidikan dan tentang dasar pendidikan.
Konsep integrasi Natsir booming dikalangan Institut-institut Islam pada akhir-akhir ini, yakni adanya perubahan dari IAIN menjadi UIN. Konsep ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diharapkan Muhammad Natsir. Namun, bagaimanakah output para peserta didik dari adanya integrasi tersebut? Sudahkah sesuai dengan yang diharapkan?  
Bagaimanapun juga hasilnya, jika ditanggapi secara positif, proses integrasi tersebut tidak akan menjadikan pendidikan Islam semakin ter-nomor duakan, sebab kalau pendidikan islam dan pendidikan umum terdikotomi, maka pendidikan Islam justru akan malah terkungkung dalam tempurung, tidak akan pernah bisa berkembang selamanya.  









DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2006.
_________, dkk. Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi. Yogyakarta:SUKA Press, 2007.
Aly, Hery Nur. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1999

Daradjat, Zakiah, Pembinaan Akhlaq Remaja, Jakarta: Bulan Bintang, t.th.           
Hasbullah.  Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta:Grafindo Persada, 1996.
Iskandar Z, dkk, Dinamika Ilmu, Samarinda:STAIN Samarinda, 2004.
Nata, Abudin. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004.
Natsir, Muhammad, Kapita Selecta, Jakarta:Bulan Bintang, 1973.

Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Kalam Mulia, 2009.
Syam, Noer. Filsafat Pendidikan Dasar & Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila .Surabaya:Usaha Nasional, 1986.


[1] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Indonesia (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004), 73
[2] Sebagai seorang pegawai bawahan, ayahnya sering berpindah tugas dari satu daerah ke daerah yang lain. Semula ditugaskan didaerah asalnya Alahan Panjang, kemudian dipercaya menjadi asisten Demang di Bonjol, brikutnya menjadi juru tulis kontroler di Maninjau, lalu dimutasikan sebagai sipir di Bekeru Sulawesi Selatan menjelang pension dikembalikan lagi ketempat tugas semula di Alahan Panjang.
[3] Sebuah sekolah yang mengacu pada sekolah Belanda yang dilengkapi dengan pelajaran agama Islam. Lihat Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Kalam Mulia, 2009), 361
[4] Iskandar Z, dkk, Dinamika Ilmu (Samarinda:STAIN Samarinda, 2004), 97
[5] Ramayulis, Filsafat Pendidikan, 362
[6] Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan, 76
[7] Ibid, 77
[8] Ibid, 81
[9] Adanya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum pada masanya, Natsir mencoba untuk mencari jalan keluar yakni dengan mendirikan lembaga pendidikan islam yang kurikulumnya diolah dan diformulasikan antara pendidikan umum dan pendidikan agama untuk menjembatani antara keduanya, hal ini dimaksudkan agar tidak ada dikotomi dalam dunia pendidikan di Indonesia pada saat itu.
[10] Muhammad Natsir, Kapita Selecta (Jakarta:Bulan Bintang, 1973), 82
[11] Hery Nur Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1999), 13
[12] Zakiah Daradjat, Pembinaan Akhlaq Remaja (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), 182
[13] Natsir, Kapita, 84
[14] Nata, Tokoh-tokoh Pendidikan, 85
[15] Natsir, Kapita Selecta, 85
[16] Ibid, 109
[17] Ibid, 110
[18] Natsir, Kapita Selecta, 82
[19] Nata, Tokoh-tokoh Pendidikan, 81
[20] Noer Syam, Filsafat Pendidikan Dasar & Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila (Surabaya:Usaha Nasional, 1986), 348
[21] Ramayulis, Filsafat Pendidikan, 377
[22] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta:Grafindo Persada, 1996), 23
[23] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2006), 371
[24] Dalam www.uin-suka.ac.id, (07 Juni 2011)
[25] M. Amin Abdullah dkk, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta:SUKA Press, 2007),  viii

Tidak ada komentar:

Posting Komentar